Kak Imam Blog - Bagi
Majapahit (1284-1478), Tuban merupakan kota pelabuhan dagang yang
cukup penting. Saat itu masa akhir kerajaan Majapahit dan yang menjadi
Raja adalah Brawijaya V.
Ada sebuah kisah seorang putra dari Adipati
Tuban, Raden Mahmud Syahid atau dikenal dengan Raden Syahid, kurang
lebih 1450 M. Ayahnya yang seorang adipati Tuban bernama Raden Sahur
alias Aya Wilwatikta, masih keturunan dari Ranggalawe, Adipati Tuban
yang pertama. Ibundanya bernama Dewi Nawangrum.
Sejak
kecil Raden Syahid ini sudah terlihat menjadi anak yang cerdas,
pandangan matanya tajam, nalurinya kuat dan kemauannya keras. Ia adalah
putra adipati yang disegani di seluruh Tuban. Keluarganya pun termasuk
keluarga yang saleh dan pemeluk Islam yang taat.
Hampir setiap malam, ba’da isya,
Raden Syahid beserta kawan-kawannya tekun mempelajari Islam. Mereka
belajar membaca Al-Quran. Kiyai Ahmad, guru mengaji Raden Syahid. Guru
mengajinya sangat kagum kepadanya karena dari remaja sikap dan
perbuatannya sudah berbeda dari remaja pada umumnya. Ia mampu berpikir
dewasa. Suatu saat nanti , Raden Syahid pasti akan menjadi orang yang
besar pikir guru mengajinya.
Raden
Syahd suka menonton wayang beber, yakni wayang yang dilukis diatas
kain putih. Lukisan itu merupakan adegan-adegan tertentu dari kisah
Mahabarata dan Ramayana. Wayang tadi berbentuk manusia yang dilukis di
candi-candi. Inilah konon yang nantinya cikal bakal beliau akan
men-dakwah-kan Islam melalui wayang versi Jawa.
Di
siang hari, Raden Syahid mempelajari ketatanegaraan, keprajuritan dan
beladiri, Ayahnya berharap putranya akan menggantikan kedudukannya
sebagai Adipati Tuban.
Sebagai
putra adipati ia hidup dilingkungan pejabat yang mewah. Kadang-kadang
ayahnya mengajaknya perjalanan bersama, Mereka melihat daerah-daerah
yang jauh dari pusat kadipaten. Dari pengalaman itu, ia mengetahui bahwa
kebanyakan masyarakat di pelosok masih memegang teguh kepercayaan
nenek moyangnya yang merupakan agama Hindu, Budha dan kepercayaan.
Namun
dari kemewahan yang ia dapat sebagai putra adipati itu tidak
membuatnya bahagia. Ia justru melihat dengan mata kepala sendiri bahwa
para pejabat istana itu ternyata suka menindas rakyat dengan
pajak-pajak yang tinggi dan iuran-iuran lain yang tidak masuk akal.
Meskipun
berdarah bangsawan, berkat didikan Kiyai Ahmad membuat Raden Syahid
berpihak kepada rakyat kecil. Ia suka bergaul dengan penduduk yang
miskin dan teraniaya. Karena itu dia tahu betul penderitaan rakyat.
Rakyat
yang tidak mampu membayar pajak dihukum, dihajar dan kadang-kadang
diserobot tanah miliknya. Hukum hanya diperuntukan bagi rakyat kecil.
Para pejabat negara, baik di Majapahit sebagai pusat kerajaan, maupun
didaerah Tuban selalu kebal hukum, meski mereka melakukan pelanggaran
besar.
Keadaan
ini disaksikan setiap hari dan hal itu membuat tekanan batin baginya.
Ia menolak dunia yang tidak adil seperti itu, namun sebagai anak kecil
ia tidak tahu dan tidak bisa berbuat banyak, Maka ia melampiaskan diri
dengan bergabung kawanan penjudi dan pemabuk. Bagi dia, justru dalam
judi ia menemukan keadilan, siapa yang kalah akan ludes, dan siapa yang
menang akan berjaya.
Namun
hal itu disaksikan oleh ayahnya sebagai kenakalan tanpa kenal ampun.
Meski Raden Syahid dica sebagai anak nakal, bengal dan susah diatur,
namun ia senang berguru beladiri. Ia selalu rajin dan benar-benar
mematuhi nasehat setiap guru ilmu kanuragannya. Maka jadilah dia orang
yang kuat, sakti dan disegani.
Sayangnya
ia kecewa dengan struktur masyarakat di sekitarnya dan melampiaskannya
dengan cara berbuat semaunya sendiri. Mungkin hal ini karena usianya
yang masih muda. Ia belum tahu bagaimana menggunakan kemampuan beladiri,
kecerdasannya dan kesaktiannya. Apalagi setelah ia mengetahui
perbedaan norma-norma yang didapat dari kiyai-nya dan kenyataan yang
bertolak belakang.
Kerjaannya
hanya bertualang dan bermain judi, Kalau ia kalah, tidak segan-segan
ia merampok rumah para pejabat. Kalau sudah mendapat rampokannya
kembali ia berjudi! Seluruh kesenangannya dilakukan semaunya sendiri.
Untuk apa berbuat baik , karena kenyataannya orang baik tidak dihargai
dan hanya didalam cerita saja, pikirnya.
Namun
beberapa informasi yang beredar beliau tidak memakan sendiri hasil
rampokannya. Kadang ia bagi-bagikan ke penduduk desa yang miskin.
“Anak
kurang ajar ! Membuat malu orang tua saja. Lebih baik mati saja kamu,
sebelum lebih banyak dosa-dosamu”, keluh sang Ayah yang merasa gagal
mendidik putranya.
Kegerahan
ini mencapai puncaknya ketika suatu malam, Raden Syahid tertangkap
basah sedang mencuri gabah di gudang Istana. Ayahnya tentu saja gusar
dan tidak bisa mentolerir putranya lagi. Menurut informasi yang beredar
kala itu gabah itu bukan untuk dimanfaatkan sendiri, tetapi untuk di
bagi kepada penduduk desa yang miskin. Akan tetapi tindakan pencurian di
Istana terasa seperti mencoreng arang di muka Ayahnya.
“Sahid,
sudah keterlaluan kamu, Nak ! Untuk apa pula kamu mencuri gabah?
Kurang apa ayah memuliakan kamu? Mau jadi brandal apa? Minggat dari
Tuban ini !! Jangan sekali-kali menginjakann kaki di kadipaten Tuban
lagi, kalau kamu tidak bisa menggetarkan orang Tuban dengan ilmu agama
!” usir Sang Adipati kepada putranya.
Dari sinilah Raden Syahid rasa kesedihan, duka dan kekecewaan yang mendalam di hatinya. Akhirnya ia pun pergi meninggalkan kadipaten Tuban.
Raden
Syahid pun mengembara, berhari–hari ia naik dan turun gunung, masuk
kampung keluar kampung dengan pikiran yang kacau balau. Ia berpikir
mencari kawanan perampok untuk ditundukkan dan direbut rampokannya.
Sepertinya ia sudah tidak berniat untuk hidup di dunia ini, mati
tertikam atau sekalian menjadi raja rampok.
“ Hai para perampok-perampok bodoh. Pilih harta atau nyawa?” ketika bertemu dengan segerombolan perampok di hutan.
“Kau
ini yang bodoh. Kami ini perampok kok dirampok ? Apa kamu mau mencari
mati ? Belum tahu rupanya siapa Kethuk Lindu”, jawab Kepala Perampok.
Akhirnya
Raden Syahid dikeroyok oleh para perampok. Meski mereka bersenjata
pedang, parang dan tombak dengan mudah diparahkan perlawanan mereka
dengan tangan kosong. Permainan beladiri Raden Syahid yang memukau
dengan permainan bawahnya yang cepat membuat roboh para perampok,
dengan mengambil pedang dari salah satu perampok dan memporak-porandakan
para perampok.
Lalu
ia berhasil memiting kepala Kethuk Lindu dengan cengkeraman tangan
kirinya yang kuat dan pedang diayun-ayunkan dengan tangan kanan siap memenggal batang leher. “Menyerah atau mati ?!?”
Akhirnya
kawanan perampok yang dipimpin Kethuk Lindu menyerah dan berjanji
setia kepada Raden Syahid. Namun para perampok ini tidak mengetahu
siapa nama asli tuannya yang baru.
“Siapakah tuan ini sebenarnya” Tanya kepala perampok.
Mendengar
pertanyaan itu Raden Syahid teringat siapa dirinya. Ia bermaksud
menghilangkan jejaknya agar tidak diketahui keluarganya di tuban, Maka ia terinspirasi untuk membuat julukan baru.
“Hahahahha
Namaku.. Brandal Lokajaya. Asal usulku tidak penting. Yang jelas sejak
saat ini kalian adalah pengikut Brandal Lokajaya “.
Sejak
saat itu Brandal Lokajaya bersama pengikutnya barunya menguasai hutan
Jatiwangi, sekitar daerah Kudus dan Pati, Jawa Tengah, Ia meneguhkan
profesinya menjadi “berandal gelap nyawang”.Mereka menjadi kawanan
perampok yang terkenal dengan gerakan aksinya yang sangat cepat seperti
kilat, sehingga sangat sulit ditangkap dan dikenali identitasnya.
Ternyata
Brandal Lokajaya yang cerdik dan ahli strategi ini selalu membagikan
hasil rampokannya kepada anak buahnya dengan adil dan diam-diam membagi
habis harta curiannya kepada penduduk kampung yang sangat miskin.
Suatu
ketika semua usaha rampokannya tidak mendapat hasil. Semua usaha
merampoknya gagal . Dan ditengah kegalauan akibat kegagalan mereka
melihat adanya seorang bersorban dan berperawakan tinggi besar,
berhidung mancung dan berkulit putih bersih. Pakaiannya berbeda dengan
prang jawa pada umumnya dengan memegang sebuah tongkat dari emas !!
“Berhenti !! Harta atau nyawa !!”, hardik Lokajaya.
Orang
tua ini dengan tenang dan tetap tersenyum pun berkata, “Aku tak punya
apa-apa, Lihat aku tidak membawa harta apapun, hanya tongkat penopang
tubuh”.
“Jangan
banyak tingkah orang tua ! aku tak punya banyak waktu. Serahkan
tongkat emasmu itu !” tekan Lokajaya sambil memberi aba-aba kepada
kawanannya.
“Emas ? kalau sekedar mencari emas, kenapa
harus menghilangkan nyawa hamba Alloh ? lagi pula aku tak punya emas,
ini tongkat kayu biasa, dan kalau kau mencari emas lihatlah dibebatuan
itu ada tumbuhan kolang kaling berdaun emas”. Kata orang tua itu yang
ternyata tongkatnya adalah hanya sebuah tongkat kayu biasa dan
menunjukkan dengan tongkat kayu biasa itu ke arah daun kolang-kaling.
Seketika daun kolang kaling itu berubah menjadi emas !! Berandal Lokajaya pun terkesima bukan kepalang.
Saat
daun daun emas sudah di tangan mereka tiba-tiba kembali menjadi daun
seperti biasa. Karena merasa tertipu Berandal Lokajaya pun berang dan
menyerang orang tua itu.
Kemudian
dengan kesaktiannya orang tua itu berubah menjadi lima orang yang
serupa dan semuanya asli.Hingga akhirnya mereka berlima mengepung dan
menghadang Lokajaya. Dan akhirnya Lokajaya menyerah kalah dan ingin
berguru kepadanya.
“Aku
Sunan Bonang. Hanya orang yang sungguh-sungguh yang bisa menjadi
muridku. Kamu harus bersuci dulu dari dosa-dosamu agar mendapat ampunan
Allah SWT. Apakah kamu bersedia?”
“Baik kanjeng Guru , Bagaimana caranya bertobat agar mendapat ampunan-Nya?“
“Bukankah
pertama kali kamu menginginkan tongkat ? Nah sekarang, bacalah kitabku
ini sebagai sarana taubatmu. Kitab ini adalah Tongkat Emas Sejati,
datangnya dari Tuhan yang Maha Pencipta Alam Semesta,
Baca dan hafalkan sampai tuntas !!, Bersihkan tubuhmu dan hatimu dari
perbuatan maksiat, dirikanlah musholla di sini dan bertirakatlah, Kalau
aku belum datang, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini,
Mudah-mudahan Alloh memberimu petunjuk”
Lokajaya menjawab, “Baik, saya akan laksanakan” , gemetar Lokajaya dengan janji di hatinya sendiri.
Lelaki tua itu memberikan kitab itu lalu pergi begitu saja.
Lokajaya
pun selalu beribadah dan membaca kitab itu setiap hari. Ia hanya
berhenti sesaat-sesaat untuk membersihkan tubuhnya, berwudhu, makan dan
bersembahyang. Semua dilakukan hanya sekitar pondok yang dekat dengan
sungai. Mata bathinnya kini telah terbuka lebar setelah membaca kitab
dari gurunya yang ternyata sebuah “Al-Quran”
Rerumputan dan akar-akaran serta pohon rembete tumbuh di sekitar pondokannya. Kiri kanan telah menjadi belukar.
Setahun
berlalu Sunan Bonang ingat janjinya dengan Lokajaya, Maka ia
mencarinya di Hutan Jatiwangi. Tempat beribadah Lokajaya telah berubah
sama sekali.
Sunan
Bonang pun menyalakan api , hingga api hampir melalap pondok Lokajaya.
Lokajaya tidak bergerak dari tempatnya. Atas karunia Alloh, pondoknya
tidak tersentuh api, konon tobatnya diterima oleh Gusti Allah.
“Sembah bhakti saya pada Kanjeng Sunan!”, katanya.
“Bersucilah dan bersihkan badanmu !” .
Lokajaya pun menuju sungai dan tak lama sudah kembali dengan penampilan suci bersih.
“Apakah kamu sudah khatam kitab ini dan tahu isi yang tersurat maupun yang tersirat?”
“Atas restu Kanjeng Sunan, saya hafal dan faham”.
“Bagus.
Kamu sudah melaksanakan perintahku, Teruslah belajar dan jadikan
pedoman karena itulah dasar segala dasar Ilmu Syariat, Dari setiap
nafasmu jangan lupakan ilmu syariat dan AlQuran”
“Aku
punya firasat, engkau adalah manusia yang sangat dibutuhkan oleh
kawula alit di tanah jawa ini. Dan itulah jalan pengampunan tobatmu
berikutnya. Kamu sudah banyak dosa, Lokajaya. Tapi engkau akan diampuni,
setelah menjalani lelaku suci dan pakailah nama
“Syekh Malaya”. Malaya artinya berkelana. Sedangkan syekh itu sebutan
bagi orang yang mempunyai ilmu untuk menyiarkan agama-Nya dan dikasihi
Allah”
“Tunjukkanlah kepada saya lebih jelas, Guru” jawab Lokajaya alias Syekh Malaya
Anakku, Malaya hayatilah
tongkat kayu gurdha ini. Ajaran ini sangat keras, kamu boleh mundur
jika kamu mau. Tapi hanya inilah titianmu mencapai keridhoan-Nya. Hidup
ini tiada lain mendapat ridho Alloh SWT. Lakukan ibadah siang dan
malam, jangan putus dzikirmu. Saatnya engkau membersihkan hati yang
tercela dan membersihkan pribadimu dari Selain Alloh SWT”
“Baik, guru Sendika dhawuh”. Jawab Syekh Malaya.
Makna dari kayu gurdha adalah sebagai berikut :
Kayu berasal dari kata “Hayu” artinya Yang Maha Hidup.
Gurdha berasal dari kata “Ridho” artinya mendapat perkenaan dari Allah SWT.
Intinya
dari kata-kata itu kematian kehidupan dan ibadah bukanlah untuk
mencari pahala, surga ataupun imbalan lainnya namun untuk mencari
ke-ridho-an-Nya
0 komentar:
Posting Komentar